Oleh: Salamuddin Daeng, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).
INFOESDM.COM – Indonesia memiliki banyak sekali kesempatan untuk mengambil manfaat atas agenda transisi energi yang dijalankan melalui skema atau rumus Net Zero Emission (NZE), mengapa?
Karena Indonesia adalah satu satunya negara terluas di dunia yang memiliki kekayaan alam terlengkap dan paling siap menjalankan agenda ini.
Sementara banyak negara yang super kaya dan negara industri maju menggelepar oleh isue ini, karena ibarat ikan air tawar dimasukkan ke laut. Kira kira kayak apa masalah mereka itu.
Baca Juga:
Jika Harga Minyak Dunia Naik, Pemerintah Hadapi Tekanan Besar Anggaran Energi dan Stabilitas Ekonomi
Menteri Bahlil Lahadalia Ungkap Alasan Kondisi Produksi Gas Alam Cair (LPG) Indonesia Memprihatinkan
Memang ada segelintir oligarki yang akan terkena dampak atas agenda ini, dikarenakan memang mereka menjalankan bisnis pengerukan sumber daya alam dan ekploitasi energi kotor.
Akan tetapi dampak itu dapat diminimalisasi jika mereka memiliki komitmen yang baik kepada lingkungan hidup dan mau melakukan sedikit investasi bagi lingkungan.
Tetapi jika mereka tidak mau, maka mereka akan rugi sendiri, alam akan menghukum mereka dan bisnisnya tersebut.
Karena oportuninty dalam transisi energi begitu besar. Indonesia memiliki hutan tropis terluas di dunia.
Baca Juga:
CSA Index Oktober 2024 Melonjak ke 76,09: Penurunan Suku Bunga dan Kinerja IHSG Diharapkan Menguat
Lebih dari 100 juta hektar. Pohon pohon dapat tumbuh dengan sangat cepat, jika ditanami sekarang maka dapat dimanfaatkan hasilnya pada 2040 nanti.
Saat itu negara negara industri maju sudah dalam komitmen penuh mencapai net zero atau nol bersih. Jadi mereka tidak boleh utang emisi lagi.
Jadi mereka harus memiliki investasi karbon yang dapat membalance secara penuh emisi yang mereka hasilkan, sehingga tercapai net zero.
Maka saat itu hutan Indonesia akan bernilai sangat besar, maka saat itu setiap satu dolar akan diukur dengan setiap pohon sebagai jangkarnya.
Baca Juga:
Pemerintahan Prabowo Mampu Pimpin Indonesia Lebih Baik, Survei Sebut 83,4 Persen Publik Yakin
Survei Indikator Sebut Sebanyak 73,3 Persen Publik Sepakat dengan Pembentukan Koalisi KIM Plus
Pidato Hidup Sederhana, Ahmad Muzani Tanggapi Pertanyaan Jurnalis Soal Hidup Mewah Pejabat Publik
Ingat bahwa isue transisi energi adalah pukulan keras terhadap minyak, pukulan itu mengarah ke jantung utama penggerak kapitaliasme merusak sekarang ini yakni petro dolar system.
Rezim keuangan yang sangat ekslusive atau tertutup, sentralistik dan tidakntransparan dan tidak demokratis.
Rezim printing uang yang hanya bermodal kertas dan tinta. Gak perlu kerja, uang tinggal print. Pesugihan kelas satu.
Mula mula transisi energi akan mengakhiri industri minyak dan gas sebagai penggerak dunia karena sudah sangat membahayakan ekosistem.
Dunia ibarat gelembung tertutup yang dipenuhi asap polusi minyak yang jika tidak ditanggulangi maka akan menjadi sumber penyakit, pohon tidak tumbuh, tanam tidak berbuah, mahluk hidup di dalamnya akan terancam musnah.
Berakhirnya Industri minyak harus dipahami sebagai berakhirnya ketergantungan yang besar Indonesia kepada minyak dan gas impor.
Sekarang ini Indonesia mengimpor lebih dari separuh kebutuhan minyak nasional. Kenaikan harga minyak selalu menciptakan ancaman yang besar pada ekonomi.
Demikian juga naiknya harga dolar sebagai mata uang untuk membeli minyak membahayakan negara secara politik.
Minyak membuat bangsa Indonesia hidup dalam ketergantungan dan ketidakpastian yang membahayakan.
Bagaimana dengan batubara yang merupakan penghasil emisi terbesar di atas minyak? Bukankah Indonesia eksportir terbesar batubara?
Sementara batubara telah dijadikan target utama untuk dihentikan menurut kesepakatan internasional di bawah UNFCC yakni COP, bukankah itu merugikan Indonesia?.
Benar kita mengekspor 700 juta ton batubara setahun, terbesar di dunia, bernilai sekurang kurangnya 105 miliar dolar atau sekurang kurangnya 1600 triliun rupiah.
Namun batubara itu bukan punya negara kita, tapi punya sawata dan asing.
Portal berita ini menerima konten video dengan durasi maksimal 30 detik (ukuran dan format video untuk plaftform Youtube atau Dailymotion) dengan teks narasi maksimal 15 paragraf. Kirim lewat WA Center: 085315557788.
Penerimaan negara tidak lebih dari 5 persen pendapatan sektor batubara. Jadi batubara sama sekali tidak significant bagi negara dan rakyat.
Uang hasil batubara kabur ke luar negeri dalam sistem devisa bebas.
Lalu bagaimana batubara yang digunakan untuk pembangkit listrik nasional? bukankah itu harganya ditetapkan pemerintah agar listrik indonesia menyala?
Ya betul walaupun harganya ditetapkan di bawah harga pasar, tapi pemilik pembangkit adalah mereka yang mengkonsumsi batubaranya sendiri.
Sebanyak 70 persen lebih pembangkit batubara utilization saat ini adalah pembangkit swasta.
Seluruh batubara mereka yang ditetapkan harganya lebih murah tersebut digantikan dengan harga listrik yang wajib dibeli oleh negara melalui PLN dengan dana subsidi dan kompensasi listrik.
Sementara 70 persen listrik nasional tidak terjual atau over supply.
Jadi keberadaan batubara dan pembangkit batubara tersebut malah membebani keuangan negara, tidak sebanding dengan kontribusi mereka.
Namun bukan hanya bagian ini yang menjelaskan pentingnya transisi energi bagi Indonesia.
Ada yang lebih besar lagi yakni ekonomi negara yang menyebut dirinya sebagai negara maju sekarang seluruh aset dan kekayaan Industri mereka menjadi beban, harus mereka kurangi, harus merela musnahkan.
Tadinya aset atau kekayaan berharga sekarang malah menjadi utang dan beban.
Sementara bagi Indonesia tadinya memelihara sumber daya alam menjadi beban, namun sekarang memelihara SDA, melestarikan lingkungan adalah oportunity ekonomi yang membawa cuan besar. Begitu Gas!.***